Aku menulis ini sambil mendengarkan lagu Saat Kau Telah Mengerti by Virgoun
Apa, bapakku.
Sejak kecil melarangku bermain hingga larut. Memaksaku belajar membaca iqro dan ilmu agama lainnya. Mewisudakanku di jejang TPQ saat usiaku masih sekitar lima. Membantuku belajar membaca "ini Budi dan ini ibu Budi" setiap harinya. Tidak menyekolahkanku di Taman Kanak-kanak karena kegiatan disana hanya bermain saja katanya. Memberikanku buku tentang nabi-nabi saat aku mulai tertarik pada buku bacaan di usia lebih dari lima. Menyeret paksaku keluar dari sanggar tari dan menyebut itu tidak penting, lebih penting mengaji menurut pendapatnya. Memotong rambutku dan melarangku memiliki rambut panjang hingga akhirnya membuatku sering berkerudung karena malu dengan rambut yang berpotongan seperti laki-laki. Mencubitku jika memakai pakaian terbuka. Mengajariku membaca Alquran dengan nada dan membuatku ikut lomba MTQ hingga kabupaten. Membentakku jika aku berbuat salah. Mengurungku di gudang jika adik-adik terkena masalah. Mencambuk pelipis kakiku dengan tiga buah lidi jika tidak mengerjakan sholat yang lima.
Apa, bapakku.
Menyuruhku menjadi teladan bagi anak-anak santri yang mengaji padanya. Menjadikanku vokalis hadroh di usiaku yang belia. Mendaftarkanku lomba pidato se-kabupaten untuk pengalaman ujarnya. Memasukanku ke pesantren sekitar di saat teman-teman liburan Sekolah Dasar dengan orang tuanya. Membawaku pada setiap kegiatannya, terlebih setelah adiku lahir yang pertama. Mengenalkanku kepada teman-temannya. Membawaku menemaninya ceramah di desa-desa yang jauh jaraknya. Membuatkanku segala kebutuhan sekolah, bermain, hidup, agar tidak usah beli katanya.
Apa, bapakku.
Melarangku masuk sekolah umum di dekat rumah. Memaksaku masuk pesantren yang entah dimana. Memarahiku karena tidak mau masuk pesantren seperti dirinya. Memberi pilihan pesantren yang baik menurut pandangannya. Mengancam akan menikahkan dan menjadikanku peternak bebek jika tidak masuk pesantren mana saja. Tidak menegurku saat aku menangis karena memegang kuat sekolah impianku. Mengantarku ke pesantren dengan tubuh dan doanya -aku melihat setiap harapan di matanya kala itu. Memberikan sekolah yang lebih tinggi dari sekolah impianku. Membelikan kacamata untukku agar bisa melihat gambar dan bacaan. Menegurku saat aku minta rubah sekolahan. Memindahkanku ke sekolah yang lebih nyaman.
Apa, bapakku.
Tidak mengangkat telponku meskipun uangku habis untuk bayar wartel yang begitu mahalnya. Mengabaikan setiap pintaku untuk pulang. Mendengarkan tangisku dan hanya berkata "sabar". Melarangku membeli banyak buku karena membuatku tidak fokus pada pengajian. Memberiku jajan diluar uang bekal. Menjengukku setiap waktu luang. Menguji keilmuan pesantrenku setiap aku pulang. Mengobatiku saat aku berpenyakit ginjal dan gatal dengan tetap memintaku untuk bertahan. Menutup kuping atas segala tindakanku yang melanggar peraturan. Meragukan keputusanku untuk melanjutkan ke negeri luar. Memberikan kesempatan untukku belajar ke tempat harapan -meski akhirnya aku kembali ke awal haluan. Mengabaikan nilai-nilai dalam rapot yang tertuang.
Apa, bapakku.
Mengantarku ke tempat lingkungan yang aku saja tidak kenal. Memberikan kenyamanan dengan memasukkanku ke pesantren lainnya. Melarangku masuk kos-kosan. Mendiskusikan keinginan kos-ku kepada umi dan abah di Kota Udang dengan kekeluargaan. Menyetujui segala keputusan. Mengamati perkembangan pemikiranku tentang pesantren, kosan, dan segala hal. Tidak pernah bertanya tentang IPK atau nilai-nilai. Membiarkanku menyelami ni'matnya pendidikan dan pembelajaran di Kota Pelajar.
Apa, bapakku.
Menyimpan fotoku dan kedua adikku di dompetnya. Menjemput dengan motor setiap aku pulang dari pekerjaan ke luar. Membuka pintu kamarku setiap hari hanya untuk melihat apa yang aku lakukan. Meminjam buku-bukuku bahkan terkadang meminta buku untuk dibelikan. Mendiskusikan segala permasalahan kecil dan besar agar aku bisa belajar harapnya. Membicarakan apa yang ia temukan di media sosial. Alih-alih memaksaku untuk menikah, sebaliknya ia malah berkata kepada umi "harus bersyukur punya anak yang masih pengen sekolah, pengen belajar, orang lain belum tentu". Sedangkan beberapa hari lalu kata-katanya lebih menasehati "kamu ini ditunggu tiga adikmu yang belum menikah".
Apa, bapakku.
Memberikan pendidikan yang tidak bisa aku bandingkan. Mengandalkan karena aku dianggap lebih mampu dan berpeluang. Mempercayai karena aku adalah tumpuan.
Aku harus kuat. Aku harus hebat.
Menuju nisfu sya'ban.
0 Komentar