mukena nenek

 


Namanya Tari, Btari Hapsari. Hari itu usianya menginjak 25 tahun. Usia matang sebenarnya, namun tidak terlalu matang bagi Tari. Sejak kecil namanya selalu dieluk-elukan orang banyak sebagai anak kepala desa. Cantik paras dan pintar fikirnya membuatnya mampu bersekolah tinggi disbanding teman-teman sekampungnya yang harus menikah setelah tamat sekolah menengah.

Hari itu Tari menangis. Bukan, bukan karena usianya yang semakin berkurang. Tapi karena beban yang ia tanggung semakin berat dirasanya. Tuntutan sebagai anak kepala desa membuatnya harus memiliki visi untuk kampungnya, disaat mimpinya sebagai tenaga ahli di National Geographic terus menggebu-gebu bagai bom yang ia simpan sendiri.

Hari itu Tari bangun siang. Pikirnya itu hari Jum’at, hari libur untuknya. Sabtu dan Minggu adalah hari sibuknya karena kegiatan desa banyak dilakukan hari itu. Bersih-bersih kampung, pengajian di masjid, dan lain-lain. Jam menunjukan pukul 11.00, belum masuk dzuhur. Tari bangun dan bergegas mandi. Tepat Tari berdiri, ibunya datang dan langsung menyuruh Tari mengerjakan laporan dana desa yang harus segera dilaporkan siang itu juga. Tari yang memang sejak semalam sudah begadang karena mengerjakan tugas bapaknya yang kepala desa cemberut. Ini hari liburnya padahal. Tapi nepotisme keluarga yang seperti ini selalu turun temurun di lingkungannya. Di desanya, tidak aneh jika ayah dan ibu menyuruh anak mereka melakukan segala hal, bahkan menikah. Alasannya karena ayah dan ibu lah yang membesarkan dan membiayai anak mereka hingga dewasa dan berpendidikan. Tari yang alumni universitas terkemuka di kota sadar betul bahwa itu merupakan fenomena sosial keluarga di desa. Tapi Tari yang idealis dan memiliki ego tinggi tidak membenarkan hal itu. Tari diam ketika ibunya meminta. Tari tau itu menyakiti ibunya. Tapi jika Tari mengikuti kehendak ibunya, 24/7 hari Tari bekerja dengan gaji yang bahkan tidak ada. Pekerjaan yang dibebankan kepadanya dibayar dengan dalil kewajiban anak pada orang tuanya. Tari mandi. Ibunya pergi ke depan rumah, mencoba mencari anak muda yang pandai ekonomi meskipun akhirnya hanya menemukan pemuda yang bisa menghitung dengan jari.

Jam 14.00 setelah selesai persiapan untuk pengajian di masjid esok sore, Tari bermain dengan ponselnya. Melihat perkembangan dunia melalui media sosial. Tari cukup up to date dengan perkembangan manusia dan bumi saat ini. Terbukti ide-ide Tari diterima dengan baik oleh masyarakat desanya selama ini. Bahkan beberapa warga menyebutnya perempuan kreatif. Tari tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, melakukan sesuatu yang membuatnya senang juga bermanfaat bagi lingkungan adalah hal menyenangkan.

Tari anak yang baik, sebenarnya. Hanya saja ia memiliki prinsip hidup yang kuat. Terbukti dengan ia mengabaikan ibunya yang meminta pertolongan. Bagi Tari, anak memang harus menghormati dan membantu orang tua, tapi tidak dengan cara dipaksa atau diingatkan berulang-ulang. Tari lelah ketika ibunya selalu merengek dan membahas tentang tidak ada gunanya punya anak yang bersekolah tinggi karena tidak ada yang membantu orang tua. Bu apa yang Tari lakukan selama ini dianggap tidak ada? Sejak kecil Tari memang terlihat keras kepala dan berpendirian teguh. Tari juga termasuk anak yang moody. Jika ia tidak suka terhadap sesuatu, tidak akan ia lakukan. Tapi jika ia suka terhadap sesuatu, segala cara akan ia tempuh untuk merealisasikannya.

Pukul 16.00 ibu Tari masuk kembali ke kamar Tari dan meminta dengan wajah memelas. Ibunya bilang sudah buntu dan tidak tau kepada siapa harus bertanya. Tari diam. Tari memiliki satu adik yang juga sedang menempuh pendidikan di sekolah tinggi. Tapi sejak Tari tinggal di desa, dia yang selalu jadi tumpuan orang-orang. Bahkan beberapa bulan lalu, ia yang membantu memindahkan kuburan nenek disaat adik laki-lakinya yang harusnya membantu.

Tari melihat ibunya. Diam. Ibunya menjelaskan apa yang harus Tari kerjakan, memohon, dan kemudian keluar dari kamar Tari. Entah apa yang terjadi, dada Tari terasa sesak. Kejadian-kejadian di masa lalu yang ia rasa mengintimidasi kembali bermunculan. Tari menangis tanpa suara sampil memegang erat selimut sebagai bentuk pertahanan agar tidak menghancurkan barang-barang. Kesal. Tari menangis tersedu-sedu. Ia kemudian berfikir dalam tangisnya, kenapa hanya disuruh membantu saja harus se-complicated ini? Kenapa hanya diminta membantu mengurus laporan dana desa saja semua memori buruk dan tekanan hidup dari masa lalu tiba-tiba muncul dan memenuhi otaknya. Hatinya nyeri, panas. Rasanya ingin menyalahkan setiap orang yang ia rasa salah. Tapi Tari tidak akan pernah menangis di depan orang tuanya. Bukan karena malu, tapi ia terlalu tidak percaya bahwa dengan menangis orang tuanya akan membuka hati agar ia bisa bebas lagi di luar sana. Tidak akan ada bedanya ia menangis di depan orang tuanya atau tidak. Sebagai anak perempuan pertama, Tari merasa tekanan dalam hidupnya semakin besar setelah 25 tahun.

Tari menangis selama satu jam. Satu-satunya cara ia bisa berhenti menangis adalah bercerita pada temannya. Tapi belum satu jam menangis, Tari sadar apa yang ia lakukan salah. Harusnya Tari membantu ibunya. Harusnya Tari tidak egois. Harusnya Tari tidak keras kepala. Ibunya hanya meminta sedikit bantuan bukan? Dan itupun Tari mampu. 15 menit berbincang dengan teman lewat telekomunikasi, Tari sadar apa yang ia perbuat salah. Tapi sesak di dada itu tidak lekas hilang. Tari kemudian mengambil wudhu, cara terbaik untuk menghilangkan sakitnya. Shalat. Mengambil mukena yang sudah 20 tahun terakhir menemaninya menghadap Tuhannya. Mukena nenek. Mukena putih satin kembang-kembang. Setiap orang yang melihat mukena itu, pasti sadar bahwa itu adalah barang langka. Hanya orang generasi diatas 80-an yang memiliki mukena itu.

Tari sholat sambil menangis. Ini bukan pertama kalinya Tari menangis dalam shalatnya. Tari sadar, semakin bertambahnya usia, semakin sedikitnya pertemanan, semakin kompleksnya permasalahan, hanya ada satu tempat bersandar. Bukan manusia, tapi Dia yang menciptakan manusia. Tuhan. Tari menangis sambil bercakap pada Tuhannya. Mengeluarkan segala keluh kesahnya. Membahas segala problematika hidupnya. Tak lama kemudian tari sadar, ia belum juga bisa berdamai dengan dirinya sendiri, dengan segala emosi, keras kepala, egoisme, dan sifat lainnya. Tari sadar dia belum pulang pada dirinya, dia masih di jalan untuk pulang. Sambil mencari. Tari kemudian membantu ibunya mengurus laporan desa.

 

Sumedang, 7.54 PM

Cerita ini tiba-tiba saja keluar dari pikiran

0 Komentar