BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara Republik Irak (al-Jumhuriyyah
al-Irakiyah) dengan ibu kota Baghdad ini berpenduduk 18.317.000 jiwa (pada
sensus 1990). Luas wilayahnya 325.052 km2 dengan kepadatan penduduk
42,1/km2, Bahasa resminya adalah bahasa Arab. Persentase agama di
Irak; Islam 95,8% (sunni dan syi’ah), Kristen 3,5 %, dan sedikit Yahudi. Mata
uangnya adalah dinar. Negara yang berada di bagian barat daya Asia ini,
memiliki batas-batas wilayah; di selatan berbatasan dengan Kuwait dan Arab
Saudi, di barat dengan Yordania dan Syria, di utara dengan Turki, dan di timur
dengan Iran.
Mayoritas agama penduduk Irak adalah Islam yang terbagi menjadi dua
golongan yaitu Syiah dan Sunni. Wilayah selatan Irak didominasi penganut Syiah
sementara tengah, barat dan utara didominasi Sunni. Ulama di Irak tidak terlalu
berperan dalam pemerintahan. Ini dikarenakan konstitusi Irak berbeda dengan
Konstitusi Iran yang berlandaskan Syi’ah.
Irak juga memiliki warga Kristen
yang mencangkup 3% jumlah penduduk, dan kelompok berbahasa Turki dikenal
sebagai Suku Turkoman, menempati wilayah Strategis di ladang minyak utara di
sekitar Kirkuk Utara dan Arbi.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
kondisi politik Irak sebelum pemerintahan Saddam Husein?
2.
Bagaimana
Irak saat dan setelah pemerintahan Saddam Husein?
3.
Apa
saja benuk modernisasi di Irak abad 20 sampai 21?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Politik
Irak sebelum Pemerintahan Saddam Husein
Setelah kehancuran kekhalifahan Abbasiyyah dan penaklukan bangsa
Mongol oleh Turki di Baghdad, Irak terus menjadi bagian dari Turki Utsmani. Pada
Perang Dunia I (1914) Turki bersekutu dengan Jerman dan Austria melawan Inggris
dan Perancis. Sebelum itu, gerakan kemerdekaan Arab sudah memperoleh momentum.
Para pemimpin Arab berjanji membantu Inggris untuk melakukan revolusi melawan
Turki. Janji ini muncul setelah Inggris setuju untuk mengakui kemerdekaan Arab
seusai perang nanti.[1]
Turki Usmani runtuh ketika pasukan Inggris menduduki Baghdad tahun
1917. Irak diduduki berdasarkan mandat dari Liga Bangsa-bangsa dan
administrasi pemerintahannya tetap
dijalankan oleh Inggris.[2]
Mandat ini adalah suatu bentuk pemerintahan tidak langsung di mana para menteri dan pejabat Arab diawasi secara
ketat oleh para penasihat Inggris.[3]
Selama Perang Dunia I (1914-1918), Irak diduduki oleh pasukan Inggris terutama di provinsi Basra
dan Baghdad. Pada akhir perang, Inggris menduduki Mosul.[4] Irak
diperlakukan sebagaimana koloni Inggris di India. Pada 1920, pemberontakan
terhadap Inggris dilancarkan oleh pejabat dan tuan tanah Usmani, kalangan
pemuka agama Sunni Syiah dan sejumlah kelompok kesukuan. Mereka memaksa Inggris
untuk menampung kalangan elit Irak.[5]
Tahun 1921, Emir Faisal ibn Hussein dari dinasti Hasyim, Arab dinobatkan
oleh kekuatan Inggris menjadi Raja Irak.[6]
Inggris membuat sebuah monarki konstitusional dibawah Raja Faisal kepada mereka
yang merasa berhutang budi lantaran bantuannya dalam sejumlah peperangan.
Monarki Irak terdiri dari pejabat militer yaitu pejabat Turki yang terdidik di
Istambul, pejabat Syarifian yang
mengabdi pada Raja Faisal sebelum datang ke Irak, warga Irak yang berpendidikan
di akademi militer Baghdad, para tuan tanah dan kepala-kepala suku, ulama dan
pemuka agama Syi’ah.[7] Tahun 1922 terjadi sebuah perjanjian Inggris
Irak yang berisi bahwa Irak memberikan hak kepada Inggris untuk menguasai
militer, keuangan, peradilan dan urusan luar negeri.[8] Inggris
menciptakan basis sosial bagi monarki dengan memformalkan kepemilikan penuh oleh pemimpin-pemimpin suku yang layak
terhadap wilayah yang sebelumnya secara adat adalah milik sukunya. Sayangnya
elit ini sangat rentan dan mudah terpecah belah. Mandat Inggris berakhir tahun
1932 ketika Liga Bangsa-bangsa mengakui Irak sebagai negara merdeka. Namun
begitu Inggris tetap mempertahankan pengaruhnya di Irak.[9]
Pada tahun 1941, sekelompok perwira Irak memimpin gerakan perlawanan
yang berusia pendek melawan Inggris. Rasyid Al Gaylani merebut pemeritahan
selaras dengan kebijakan pro Jerman. Aksi ini kemudian diredam Inggris. Pada Maret
1945, Irak menjadi anggota pendiri Liga Arab. Pada Desember 1945, Irak menjadi
anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).[10]
Antara tahun 1941 hingga 1958, pemerintahan di Irak dipegang secara
bergantian sampai 24 kabinet. Sebagian besar kabinet itu merupakan kombinasi
dari individu-individu dan elite yang sama. Sering juga diketuai oleh politisi kawakan
pro-Inggris, Nuri al-Said. Pada sebagian besar periode ini, partai-partai
oposisi yang murni dilarang. Artinya, hanya sedikit peluang bagi pengembangan
tradisi demokrasi. Banyak rakyat Irak percaya, kebutuhan yang paling mendesak
bagi negeri itu adalah kemerdekaan nasional, yang disusul dengan pembangunan
ekonomi dan reformasi sosial. Namun justru hal-hal ini yang ditolak oleh
monarki, dan Inggris yang menjadi sponsornya.[11]
Dominasi elit tua (yang sudah disebutkan diatas) ditentang oleh
generasi baru yang terdiri dari kalangan militer, intelektual dan para pekerja
yang tertinggal oleh perubahan ekonomi. Penglepasan sejumlah pertanahan oleh
para syekh dan hancurnya komunitas kesukuan mendorong sebagian warga berpindah
ke kota. Generasi baru urban dari kelas bawah, perwira militer junior, pekerja
tekstil dan petani berlomba terlihat dalam rezim. Monarki melakukan pembangunan
besar-besaran untuk menahan perlawanan. Sayangnya program-program tersebut
tidak terlaksana.[12]
Monarki Irak membuat beberapa kebijaksanaan luar negeri, pada 1950-an,
yang akhirnya ikut memberi andil bagi kejatuhan monarki. Kebijaksanaan luar
negeri itu terjadi tahun 1955, ketika Nuri al-Said mengumumkan Irak bergabung
dengan Pakta Baghdad.[13] Pakta
Baghdad yang merupakan pakta pertahanan bersama Turki, Iran, Inggris dan
Pakistan ini merupakan cara Amerika mencari sekutu.[14] Irak
kemudian mengakhiri Pakta Baghdad dan tahun 1958 markas organisasi ini pidah ke
Ankara, Turki. Serangan gabungan Inggris-Perancis-Israel ke Sinai, Mesir, tahun
1956 (karena Mesir menguasai terusan Suez) semakin membuat krisis kepercayaan
Timur Tengah terhadap Inggris yang berdampak pada keruntuhan monarki dan rezim
Nuri al-Said juga barisan oposisi Irak yang terus tumbuh.
Juli 1958, sekelompok perwira militer muda yang dipimpin Abdul Karim
Qasim merebut kekuasaan. Dalam kepemimpinan Qasim, rezim berubah menjadi rezim militer
yang diktator didasarkan pada dukungan partai Komunis. Kelompok oposisi
ditindas termasuk partai Baath.[15]
Partai dan gerakan oposisi yang dilarang kemudian bergerak dibawah tanah.
Pemerintahan Qasim hanya didukung oleh tentara. Tahun 1961 terjadi pemberontakan
etnis Kurdi. Juga ketidakpuasan terhadap pembersihan di tubuh militer. Situasi
ini kemudian menarik sejumlah perlawanan terbuka terhadap Qasim. Kolonel Abdul
Salam Arif kemudian memimpin tentara melakukan kudeta dan membunuh Abdul Karim
Qasim pada Februari 1963.
Abdul Salam Arif diangkat menjadi presiden dengan wakilnya Jenderal
Ahmad Hasan Al Bakr dari partai Baath. Pada masanya, 90% anggaran negara
digunakan untuk militer. 3 April 1966 Presiden Arif wafat dalam kecelakaan
helikopter. Saudaranya, Abdul Rahman Arif menggantikannya. 17 Juli 1968
Jenderal Hasan Al Bakr mengkudeta Persiden Abdul Rahman Arif dan menduduki
kursi presiden. Saddam Husein kemudian diangkat menjadi wakilnya. Tahun
1979, Saddam Husein mengkudeta Hasan Al Bakr dan menjadi presiden Irak. [16]
B.
Irak
masa Pemerintahan Saddam Husein
Saddam Husein naik menjadi presiden dengan struktur kekuasaan yang
sudah terorganisir. Ia mulai mengamankan kekuasaanya agar tidak tergeser
diantaranya dengan memperbarui militer dan lainnya. Dalam bidang militer Saddam
membeli perlengkapan militer secara besar-besaran di wilayah Timur dan Barat,
memperbarui kemampuan tentara dan pembentukan tenaga ahli. Saddam juga menghidupkan
kembali jaringan suku-suku di seluruh Irak sebagai penganti organisasi partai.
Saddam juga membangun perekonomian Irak dengan menasionalisasi
perusahaan minyak asing, pembangunan industri dan lain sebagainya. Era Saddam
Husein adalah era naik turunnya perkonomian Irak. Data Bank Dunia 1980 jumlah
Gross Domestic Product (GDP) Irak menembus $53.406 miliar, naik dari tahun
sebelumnya yang hanya $37.816 miliar. Saddam juga melakukan nasionalisasi
perusahaan minyak asing. Setelah dimulainya Parang Irak-Iran akhir 1980 hingga
selama delapan tahun membuat ekonomi Irak terpuruk tapi kemudian merangkak naik
kembali. Puncaknya, setelah Perang Teluk I tahun 1990 ekonomi Irak tercatat
$179.889 miliar. Semua itu berubah kembali akhir 1990 saat Kuwait menurunkan
harga minyak.[17]
Irak juga mulai mempekerjakan perempuan dalam industri. Mereka
diberi tunjangan perumahan dan kesejahteraan anak. Para pekerja perempuan
terdaftar dalam sejumlah sertifikat dan federasi. Namun organisasi-organisasi
tersebut diawasi ketat oleh negara.[18] Pekerjaan
di luar seperti 20% pegawai negeri atau birokrat lebih dari 45% pendidik, 35%
tenaga medis dan paramedis serta 5% insinyur adalah perempuan.
Hubungan politik luar negeri dengan beberapa negara seperti Italia,
Jerman, Jepang, Spanyol, Skandinavia dan Prancis menguat karena lebih dari 75%
impor Irak yang berupa perlengkapan industri, militer dan sebagainya berasal
dari Eropa Barat dan Jepang.[19]
Dalam bidang pendidikan, pada akhir 1980
an perempuan Irak telah mencakup 50% siswa sekolah dasar dan 38% siswa sekolah
menengah serta 35% mahasiswa di perguruan tinggi adalah perempuan. Selain dalam
pendidikan. Selain kemajuan-kemajuan yang menjadikan wanita telah sejajar
dengan pria, kaum wanita juga menempati beberapa posisi administrasi tingkat
atas. Ini sangat jauh berbeda dengan Irak tahun 1920. Dimana hanya sedikit
perempuan yang tamat sekolah dasar.
11 September 2001 gedung kembar WTC di Washington runtuh. Ini
kemudian menjadi pemicu operasi militer Amerika ke negara Irak. Irak yang
diduga sebagai bagian dari poros kejahatan menjadikan Saddam sebagai penjahat
internasional. Tahun 2002 dalam pidato kenegaraannya, George W. Bush Presiden
Amerika Serikat menyebut bahwa Irak, Iran dan Korea Utara adalah poros
kejahatan. AS dan sekutunya kemudian menguasai Baghdad. Tahun 2003 Saddam
Husein ditangkap dan tahun 2006 Saddam dieksekusi.[20]
C.
Irak
setelah era Saddam
Problematika sosial yang dihadapi sejak turunnya Saddam adalah
perang saudara. Syiah, Sunni dan suku Kurdi yang berebut kekuasaan dan
wilayah. Sarana prasarana, pendidikan,
perekonomian dan keamanan juga mengalami kemerosotan.
AS mulai menyusun rencana rekontruksi Irak. AS kemudian membentuk
badan pemerintahan pendudukan bernama Office for Recontruction and
Humanitarian Assisstance (ORHA) yang bertugas menjalankan fungsi
administratif dan mengatur program rekontruksi sambil menunggu proses pemilihan
sipil. Tapi pada Mei 2003, AS mengajukan permintaan kepada PBB untuk
mengeluarkan suatu resolusi yang memberikan AS dan Inggris wewenang untuk
mengatur pembentukan pemerintah sementara di Irak. CPA (Coalition Provisional Authority) sebuah
bagian dari Departemen Pertahanan AS yang ditugaskan menggantikan tugas ORHA. CPA
kemudian menunjuk secara sepihak para pemimpin lokal di Irak.[21]
Beberapa badan lain juga dibentuk untuk menopang pemerintahan
seperti Iraqi Interim Governing Council yang bertugas mengembalikan
stabilitas dan keamanan. Tahun 2004, CPA dan
Iraqi Interim Governing Council membentuk lembaga eksekutif Iraqi National Goverment yang mengambil
alih tugas CPA dan Iraqi Interim Governing Council sampai diselenggarakannya
pemilihan legislatif (Iraqi National Assembly) tahun 2005. Dalam bidang
ekonomi, rekontruksi Irak diserahkan AS pada United State Agency for
International Development (USAID) dan United States Department of
Defense pada 2003. Tahun 2004 oleh Army Corps of Engineer, United States
Navy ikut bergabung dalam memajukan ekonomi Irak.[22]
Tahun 2004, Ghazi Masha Al Yawar dari kalangan Sunni terpilih
menjadi presiden Irak. Satu minggu kemudian, Iyad Allawi tokoh Syiah ditetapkan
sebagai Perdana Menteri. Kepemimpinannya ini ditentang oleh AS dan PBB.
Presiden Bush bahkan menyebutkan bahwa dirinya tidak mengambil peran dalam
memilih mereka.[23]
Tahun 2005 pemilihan umum digelar dan terpilih 275 orang yang duduk dalam Iraqi
National Assembly. Suara terbanyak didapat oleh kelompok Syiah . Pada April
2005, Jalal Talabani dari Persatuan Patriotik Kurdistan (PUK) ditunjuk menjadi
Presiden oleh Iraqi National Assembly. dia disumpah sebagai presiden
pada April 2006.[24]
Jalal Talabani menjabat selama dua periode hingga 2014. Jalal kemudian
digantikan Fuad Masum tahun 2014 hingga sekarang. Masa pemerintahan Fuad ramai
dengan vokalnya suku Kurdi untuk memisahkan diri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Irak awal abad 20 mengalami pergolakan politik ganda. Dimana Irak
berusaha terlepas dari pengaruh koloni Inggris sedang di dalam negeri tengah
terjadi perebutan kekuasaan. Irak akhirnya mulai lepas dari pengaruh Inggris
setelah membatalkan Pakta Baghdad.
Era pertengahan abad 20 hingga awal abadd 21 Partai Baath berusaha
menrubah Irak menjadi negara yang benar-benar merdeka. Walaupun lagi-lagi
perebutan kekuasaan di dalam partai berlangsung. Saddam Husein kemudian muncul
sebagai pemimpin Irak yang berkuasa secara diktator untuk menjadikan negara
Irak menjadi sebuah negara besar dan mandiri. Dia juga menjadi Presiden
Republik Irak yyang memiliki masa jabatan paling lama.
Kondisi Irak yang mulai menonjol dari segi militer dan ekonomi
menumbuhkan rasa iri bagi negara-negara besar saat itu. Saddam kemudian menjadi
buronan Amerika dengan alasan yang berbagai macam. Tahun 2003 Saddam Husein
ditangkap dan tahun 2006 Saddam Husein di eksekusi mati. Setelah wafatnya
Saddam, Partai Baath dibubarkan. Irak kembali ke pola dimana kekuasaan saling
diperebutkan oleh berbagai golongan.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam Jilid III. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999
SKRIPSI
Sumargono, “Irak Setelah Jatuhnya Rezim Saddam Hussein Tahun
2003-2005”, Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, 2010, hlm. 54-55.
JURNAL
Winanda, Vergie dan Ajat Sudrajat, “Sejarah Perkembangan Partai
Baath di Irak pada masa kepemimpinan Saddam Husein tahun 1979-2003”, E-Jurnal Student UNY, 2018.
MAKALAH
Anonim, Sejarah
Modernisasi Irak . Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2017.
INTERNET
[1] https://www.academia.edu/5142452/Sejarah_Irak_Dari_Sumeria_Ke_Irak_Modern diakses 24
September 2017 pukul 23.35
[2] Liga
Bangsa-bangsa sendiri merupakan organisasi internasional, yang dibentuk sesudah
Perang Dunia I, berdasarkan ketentuan Perjanjian Versailles.
[3] Ibid.,
[4] Ibid.,
[5] Ira M Lapidus,
Sejarah Sosial Umat Islam Jilid III (Jakarta: 1999), hlm. 147.
[6] Faisal adalah
putra Sharif Hussain dari Makkah. Sedangkan saudaranya, Abdullah diangkat
menjadi Emir untuk wilayah tetangga Transjordan yang sekarang menjadi kerajaan
Yordania.
[7] Ibid., hlm.
147-153
[8] Ibid.,
[9] Ibid.,
[10] Ibid.,
[12] Lapidus, Sejarah
Sosial
[13] Academia.edu
[14] https://www.google.co.id/amp/s/yuliovictory.wordpress.com/2016/11/20/cento-central-teaty-organization/amp/ diakses 20
Juli 2018 pukul 16.44
[15] Partai Baath adalah partai yang didirikan oleh Michael Aflaq dan
Salahuddin Bitar tahun 1946 di Syiria. Gagasan nya yang berupa Persatuan,
Nasionalisme dan Sosialisme mampu menjadi daya tarik bagi masyarakat Arab
termasuk Irak.
[16] Vergie Winanda dan Ajat Sudrajat, “Sejarah Perkembangan Partai
Baath di Irak pada masa kepemimpinan Saddam Husein tahun 1979-2003”, E-Jurnal Student UNY, 2018.
[17] https://tirto.id/ekonomi-irak-saat-dan-sesudah-saddam-cefu diakses 24
September 2017 pukul 22.45
[20] Ibid.,
[21] Sumargono,
“Irak Setelah Jatuhnya Rezim Saddam Hussein Tahun 2003-2005”, Skripsi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret, Surakarta,
2010, hlm. 54-55.
[22] Ibid., hlm.
54-58
[23] Ani, Chazi
Yawar Presiden Baru Irak, diakses dari https:///detik.com/news/berita/159685/ghazi-yawar-presiden-baru-irak pada tanggal
24 Juli 2018 pukul 07.18
0 Komentar